Penatalaksanaan Persalinan pada Kehamilan dengan
Atrial Septal Defect (ASD) tipe secundum
Tujuan: Untuk mengevaluasi diagnosis dan penanganan persalinan pada kehamilan dengan atrial septal defect (ASD) tipe secundum
Tempat: Instalasi rawat intensif RSUP dr. Soeradji Tirtonegoro Klaten (RSST)
Bahan dan cara kerja: Laporan satu kasus persalinan pada pasien hamil dengan ASD tipe secundum yang dilakukan epidural labour analgesia(ELA) dan ekstraksi vakum
Hasil: Seorang G3P2A0, 34 th, hamil 40 mg, datang ke instalasi gawat darurat RS.dr. Soeradji Tirtonegoro Klaten dengan keluhan keluar air kawah sejak sehari sebelum masuk rumah sakit. Persalinan disarankan di rumah sakit karena os sudah didiagnosis menderita kelainan katub jantung. Pada pemeriksaan didapatkan janin tunggal, presentasi kepala, djj 144x/mnt/teratur , dan taksiran berat janin 2200 gram,dengan kecurigaan pertumbuhan janin terhambat. Hasil ekokardiografi menunjukkan gambaran ASD tipe secundum, dengan hipertensi pulmonal sedang, dalam klasifikasi kelainan jantung fungsional kelas I-II. Diputuskan persalinan vaginal dengan ELA untuk mengurangi nyeri saat kontraksi, dan saat kala II diperingan dengan ekstraksi vakum. Dilahirkan bayi perempuan, 2300 gram, panjang 44 cm, AS 6/8. Ibu mengalami perdarahan post partum dini karena atonia uteri, dilakukan masase uterus, pemberian uterotonika dan misoprostol rektal, dan pemasangan tampon padat uterovaginal selama 24 jam. Ibu mengalami perawatan intensif selama 48 jam untuk mengawasi dan mengantisipasi terjadinya backflow postpartum, kemudian pindah ke bangsal perawatan biasa dalam keadaan baik. Sehari kemudian dilakukan sterilisasi secara pomeroy. Ibu dan bayi pulang dalam kondisi baik.
Kesimpulan: Atrial septal defect meskipun merupakan salah satu kondisi yang mengancam jiwa selama kehamilan, persalinan, dan masa nifas, sehingga perlu dilakukan penanganan dengan baik pada fasilitas kesehatan tersier melalui kerjasama tim multidisipliner (obsgin,kardiologi, anestesi, dan perinatologi) yang berkesinambungan. Untuk menentukan cara persalinan perlu dipertimbangkan kelainan anatomi di samping fungsional.
Kata kunci: ASD tipe secundum- ELA- ekstraksi vakum
Penyakit jantung merupakan komplikasi besar pada kehamilan. Terjadi sekitar 1 % dari semua kehamilan. Kondisi ini akan meningkatkan morbiditas dan mortalitas ibu maupun janin. Penyakit jantung tersebut dapat terjadi sebelum kehamilan atau muncul karena dipicu oleh adanya kehamilan tersebut. Risiko utama bagi ibu hamil dengan gangguan fungsi jantung adalah infeksi, memburuknya fungsi jantung, aritmia, dan terjadinya kardiomiopati.1,2
Pada kehamilan terdapat penambahan volume darah yang cukup besar. Awal trimester I volume darah ibu meningkat ± 50% lebih besar dari pada sebelum hamil. Cairan ekstra ini menyebabkan peningkatan kerja jantung. Jantung bertanggung jawab meningkatkan curah jantung (cardiac output). Sistem badan yang lain juga merespons. Tekanan darah menurun untuk membiarkan aliran dari pembesaran volume darah tersebut. Selama hamil dan persalinan terdapat perubahan yang cukup besar pada jantung dan sistem vaskular. Darah dalam jumlah besar bergerak dari uterus kedalam sirkulasi pada saat uterus berkontraksi. Ini menyebabkan perubahan-perubahan besar pada tekanan darah, denyut jantung dan curah jantung. Pada periode post partum, curah jantung meningkat dan denyut jantung melambat. Kehilangan darah berlebihan pada persalinan dapat merubah denyut jantung, tekanan darah dan curah jantung. 1,2,3
Atrial septal defect (ASD) yang tidak dikoreksi merupakan penyakit jantung yang paling sering terjadi pada wanita hamil. Kematian maternal pada ASD tanpa komplikasi jarang terjadi. Risiko utama pada ASD adalah terjadinya emboli paradoks dari vena kaki ke sirkulasi sistemik, endokarditis, dan hipertensi pulmonal.4,7,8
Pada kesempatan ini akan dibahas satu kasus kehamilan dengan ASD tipe secundum mulai dari persiapan persalinan sampai dengan dilakukan sterilisasi.
Laporan kasus
Seorang G3P2A0, 34 th, umur kehamilan 40 mg. Datang ke instalasi rawat darurat RSUP Dr. Soeradji Tirtonegoro dengan keluhan keluar air kawah dari jalan lahir sejak 1 hari yang lalu. Belum dirasakan tanda-tanda persalinan. Saat datang pasien sudah membawa hasil ekokardiografi (2006) dengan hasil : dimensi ruang-ruang jantung: RV tak dilatasi, trombus (-), PE (-); dinding jantung: IVS paradox; kontraktilitas: global LV normal,dengan EF=54%; wall motion: global normokinetik; katup-katup: aorta-3 kupis, kalsifikasi (-), koaptasi sempurna; mitral- pembukaan dan koaptasi sempurna; IAS dan IVS: ASD dengan diameter 2,9 cm; Doppler: E/A>2, AoVmax: m/s; kesimpulan ASD secundum dengan hipertensi pulmonal sedang.
Pada pemeriksaan fisik, tanda vital, TD: 150/90 mmHg, nadi: 84x/mnt, respirasi:24x/mnt, suhu tubuh 37°C. Pemeriksaan palpasi didapatkan janin tunggal, preskep, kepala masuk panggul, his (-), djj 144x/mnt/teratur. Pemeriksaan dalam serviks lunak, terbuka 1 jari, air kawah mengalir. Dari pemeriksaan ultrasonografi didapatkan janin tunggal, preskep, djj (+), gerakan (+), ak cukup, plasenta di fundus gr III dengan kalsifikasi 50%, BPD: 8,7 cm, AC 27,4 cm, FL 7,0cm, EFW 2112, sesuai 40 mg, kesan intra uterine growth retardation (IUGR). Pasien kemudian dikonsultasikan ke spesialis jantung. Pada pemeriksaan ulang, assesmennya adalah ASD secundum dengan hipertensi pulmonal ringan, tidak ada tindakan khusus, hanya pemberian furosemid 1 ampul/24 jam jika respiratory rate (RR)> 30x/mnt.
Diagnosisnya adalah ketuban pecah dini 1 hari (potensial infeksi), multigravida hamil aterm belum dalam persalinan dengan ASD tipe secundum. Direncanakan untuk induksi persalinan dengan oksitosin 5iu dalam 500 ml RL, saat itu skor bishop 6 dan antibiotik seftriakson 2x1 gram. Saat masuk fase aktif dilakukan epidural labour analgesia (ELA), dan kala II diperingan dengan ekstraksi vakum. Bayi dilahirkan perempuan, BB 2300 gram, PB 44 cm, AS 6/8. Satu jam postpartum, terjadi perdarahan > 800 ml, oleh karena atonia uteri. Dilakukan masase uterus, pemberian misoporostol 6 tablet/rektal, uterotonika oksitosin dan ergometrin, serta pemasangan tampon uterovaginal, selama 24 jam Pasien diobservasi ketat di instalasi rawat intensif selama 48 jam. Pasien ini dilakuan sterilisasi pomeroy pada hari ke-3 dengan epidural anestesi. Pada hari ke-5 ibu dan bayi diperbolehkan pulang.
Pembahasan
Atrial septal defect (ASD) adalah terbukanya persisten didalam septum interatrium setelah lahir yang menyebabkan komunikasi langsung antara atrium kanan dan kiri. ASD relatif sering, 1 dari 1500 kelahiran hidup. Dapat berlangsung dimana saja sepanjang septum atrium, tetapi yang tersering pada daerah foramen ovale, yang disebut ostium secundum ASD. Kebanyakan penderita dengan ASD tetap tidak memberikan gejala. Tetapi bila volume darah shunt cukup besar, perbaikan operatif secara elektif dianjurkan untuk mencegah gagal jantung atau penyakit vaskular paru.4,5,6
Pada ASD yang tejadi hubungan antara atrium yang menyebabkan shunting dari kiri kanan, pembesaran atrium kiri kanan dan ventrikel kanan, peningkatan aliran darah pulmoner, dan run off aliran darah dari sistemik ke sirkulasi pulmoner. Jika keadaan tersebut berkepanjangan maka akan terjadi kegagalan jantung kanan, fibrilasi atrial, keterbatasan aktifitas, dan tromboemboli paradoks. 3,4,7
Pada pasien ini, diagnosis ASD tipe secundum ditegakkan dengan pemeriksaan ekokardiografi yang dilakukan pada tahun 2006. Saat itu os mengeluh sering sesak nafas, setelah melahirkan anak keduanya (2005). Pada kehamilan saat ini meskipun os mengeluh sesak nafas, tetapi masih dapat melakukan pekerjaan biasa, secara fungsional kelas I-II, yang memperbolehkan hamil sampai aterm dan melahirkan secara vaginal. Pemeriksaan kehamilan dilakukan rutin di bidan setempat, tetapi dengan anjuran jika melahirkan sebaiknya di rumah sakit. Pada penderita kelas I-II ini, selama kehamilan, persalinan, dan nifas harus dalam pengawasan ketat, untuk mencegah timbulnya gagal jantung.
Gagal jantung biasanya terjadi perlahan-lahan dan dapat dikenal apabila perhatian secara terus menerus ditujukan pada beberapa gejala tertentu. Mackenzie menyatakan, yang kemudian didukung oleh Hamilton dan Thomson, bahwa terdengarnya ronki tetap di dasar paru-paru, yang tidak hilang setelah penderita menarik nafas dalam 2-3 kali, merupakan gejala awal gagal jantung Tanda-tanda lain yang menunjukkan makin beras adalah kurangnya kemampuan penderita secara mendadak untuk melakukan pekerjaan sehari-hari, dyspnoe d’effort, serangan sesak nafas dengan batuk-batuk dan hemoptoe, edema progresif dan takikardi. Pada pasien ini tidak ditemukan tanda-tanda gagal jantung tersebut.7,8,10,11
Masa berbahaya kedua, adalah saat persalinan dan kelahiran. Selama persalinan, setiap kali uterus berkontraksi, terjadi aliran darah dari sirkulasi uteroplasenter ke dalam sirkulasi darah maternal sehingga terjadi peningkatan curah jantung sekitar 15-20%. Kebutuhan jantung yang terus meninggi tersebut dapat memicu terjadinya kegagalan jantung kongestif. Selama persalinan terjadi penekanan pada venous return sehingga menimbulkan penurunan curah jantung yang berbahaya pada pasien jantung. Saat masuk rumah sakit untuk melahirkan, direncanakan persalinan vaginal dengan epidural labour analgesia (ELA) untuk mengurangi nyeri. Adanya kecemasan, nyeri dan kontraksi pada saat persalinan akan meningkatkan kebutuhuhan oksigen sebesar 3 kali lipat. Curah jantung akan meningkat > 50% pada saat kontraksi karena adanya perubahan pada stoke volume. Penggunaan anestesi dan analgesia akan menurunkan kebutuhan oksigen dan curah jantung karena rangsangan nyeri tetapi tidak akan menurunkan curah jantung selama terjadi kontraksi. 7,9,11
Pada periode post partum awal (10-30 menit post partum), merupakan masa berbahaya ketiga, curah jantung mencapai maksimal dengan terjadinya peningkatan sebesar 10-20% lagi. Hal ini disebabkan oleh adanya pertambahan volume darah dari aliran darah balik yang meningkat, yang terjadi karena transfusi mendadak dari darah pada ekstremitas bawah dan sistem sirkulasi plasenter ke dalam sirkulasi sistemik (autotransfusi). Peningkatan dalam jumlah besar dan mendadak ini melebihi daya toleransi kebanyakan pasien jantung, dan sering terjadi gagal jantung kongestif. 10,11,12
Pada kala II, apabila tidak timbul gejala-gejala gagal jantung, janin dapat lahir spontan, tetapi ibu sedapat-dapatnya dilarang mengejan. Pada saat mengejan, sejumlah besar darah bergerak dari uterus ke dalam sirkulasi ibu, akibatnya perubahan besar dari tekanan darah, detak jantung dan curah jantung. Hal inilah yang akan memicu terjadinya gagal jantung. Seksio sesarea hanya dilakukan jika memang ada indikasi obstetrik.9,10,12 Pada pasien ini sejak dari awal penanganannya sudah direncanakan persalinan vaginal dengan ELA dan diperingan dengan ekstraksi vakum. Satu jam postpartum terjadi perdarahan oleh karena atonia uteri. Risiko terjadinya atonia uteri pada pasien sangat mungkin terjadi mengingat oksigenasi ke perifer pasti akan berkurang, sehingga akan terjadi hipoksia pada miometrium yang mengakibatkan berkurangnya kontraksi saat postpartum.
Kontraksi uterus yang lembek pada pasien ini ternyata tidak dapat diatasi hanya dengan masase uterus dan pemberian uterotonika serta misoprostol. Akhirnya dipasang tampon padat uterovaginal sambil tetap didrip uterotonika. Tampon diambil 24 jam kemudian, kontraksi uterus membaik. Pemakaian uterotonika ergometrin merupakan kontraindikasi pada pemberian intravena dan setelah seksio sesarea, karena kontraksi uterus yang dihasilkan bersifat tonik, akibatnya terjadi pemgembalian darah ke dalam sirkulasi besar kurang lebih 1 liter, sehingga beban jantung akan bertambah berat.8,9,10 Tetapi pada pasien ini tetap diberikan ergometrin, setelah berkonsultasi dengan ahli jantung, karena tidak ditemukan tanda-tanda gagal jantung. Pasien ini selama beberapa hari diawasi di instalasi rawat intensif, untuk selanjutnya pindah ke bangsal biasa dan dilakukan sterilisasi pada hari ke-5.
Kesimpulan
Sebelum memutuskan untuk hamil, seorang wanita yang dicurigai menderita penyakit jantung, seharusnya sudah ditentukan derajat penyakit jantung sekaligus jenis penyakit jantung yang diderita. Tahap berikutnya, pasien tersebut dapat mengikuti konseling untuk mengetahui risiko bagi ibu maupun janin yang akan dikandungnya. 5
Penanganan standar untuk wanita hamil dengan penyakit jantung yang dikemukakan oleh Easterling dan Otto, adalah 1). Diagnosis yang akurat, 2). Jenis persalinan berdasarkan indikasi obstetric, 3). Penanganan medik dimulai dari awal persalinan: menghindari partus lama dan induksi dengan kondisi serviks yang matang (favorable cervix), 4). Stabilisasi hemodinamik, 5). Menghindari nyeri dan respon hemodinamik akibat persalinan, 6). Pemberian antibiotika untuk profilaksis endokarditis bila ada indikasi, 7). Pencegahan hejan perut ibu pada kala II (dengan ekstraksi vakum atau ekstraksi forcep, 8). Pencegahan perdarahan post partum : manajemen aktif kala III, 9). Pengaturan volume cairan tubuh pada masa postpartum (dengan pemberian diuretik).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar