Total Tayangan Halaman

Rabu, 23 Februari 2011

PCOS & metformin

REFERAT ENDOKRINOLOGI

Metformin untuk terapi
Sindrom Ovarium Polikistik (SOPK)

Oleh:

dr Husnul Abid

Pembimbing:

Prof.dr.Moch. Anwar,M.Med.Sc.,SpOG(K)

Divisi Endokrinologi

Bagian Obstetri dan Ginekologi Universitas Gadjahmada/

Rumah Sakit Umum Pusat Dr Sardjito Jogjakarta

2010

Pendahuluan

Sindrom Ovarium Polikistik (SOPK) merupakan kejadian yang sering terjadi dan menyebabkan gangguan pada wanita pada usia reproduksi, dengan karakteristik gangguan anovulasi kronis atau avulasi yang tidak teratur, kegemukan, hirsutism, hiperandrogen serta jika dilihat dari ultrasonografi terlihat gambaran banyak folikel. Sindrom Ovarium Polikistik paling sering menyebabkan infertilitas karena wanita tidak terjadi ovulasi. Kejadian Sindrom Ovarium Polikistik pada populasi beragam antara 5%-10% pada populasi umum. Didasarkan pada gejalanya kejadiannya sangat bervariasi, menstruasi yang tidak normal (4%-21% ), keluhan hiperandrogen(3,5%-9%). Dari sekian banyak itu bahwa 40% wanita tersebut menderita oligomenore, 84% dengan hirsutism dan 100% wanita tersebut dengan akne berat.

Diagnosis dan terapi PCOS masih menjadi kontroversi. Pada pertemuan European Society for Human Reproduction and Embryology (ESHRE) and the American Society for Reproductive Medicine (ASRM) di Rotterdam pada tahun 2003 telah ditetapkan poin diagnostik untuk menegakkan PCOS yaitu adanya Oligoovulation atau anovulation, klinis dan/atau laboratories hiperandrogenisme, polycystic ovarian morphology (sonography), Setidaknya didapatkan 2 dari 3 kriteria tersebut maka seorang wanita dapat ditegakan diagnosis PCOS ( The Thessaloniki ESHRE/ ASRM 2007 ).

Resistensi insulin yang merupakan karakteristik sindrom ovarium polikistik tampaknya bertanggung jawab terhadap hubungan antara kelainan tersebut dengan diabetes tipe II. Resistensi insulin juga mungkin mendasari hubungan antara sindrom ovarium polikistik dengan faktor risiko kardiovaskular yang telah dikenal, misalnya dislipidemia dan hipertensi, demikian juga dengan gangguan anatomi dan fisiologi kardiovaskuler.

Resistensi insulin dan hiperinsulinemia kompensatori juga memainkan peranan yang serius dalam aspek lain sindrom ovarium polikistik, termasuk kelebihan androgen dan anovulasi. Insulin menstimulasi produksi androgen oleh ovarium dengan mengaktivasi reseptor homolognya, dan ovarium pada wanita dengan sindrom ovarium polikistik tampaknya tetap sensitif terhadap insulin, atau mungkin hipersensitif terhadap insulin, bahkan saat jaringan target klasik seperti otot dan lemak menunjukkan resistensi terhadap kerja insulin. Sebagai tambahan, hiperinsulinemia menghambat produksi hepatik sex hormone-binding globulin, sehingga lebih meningkatkan kadar testosterone bebas dalam sirkulasi. Insulin juga menghambat ovulasi, baik secara langsung mempengaruhi perkembangan folikel atau secara tidak langsung meningkatkan androgen intraovarian atau mengubah sekresi gonadotropin. Bukti lebih lanjut pengaruh resistensi insulin pada sindrom ovarium polikistik adalah bahwa intervensi yang beragam, yang saling berhubungan hanya dalam hal menurunkan level insulin sirkulasi, menyebabkan meningkatnya frekuensi ovulasi atau menstruasi, menurunkan kadar testosterone serum, atau keduanya.

Metformin, suatu biguanide, adalah obat yang paling banyak digunakan sebagai terapi diabetes tipe II di seluruh dunia. Kerja utamanya adalah untuk menghambat produksi glucose hepatic, dan juga meningkatkan sensitivitas jaringan perifer terhadap insulin. Peningkatan sensitivitas insulin, yang memberikan kontribusi terhadap kemanjuran metformin dalam terapi diabetes, juga terjadi pada wanita non diabetic dengan sindrom ovarium polikistik.

MASALAH KLINIS

Sindrom ovarium polikistik adalah suatu diagnosis klinis yang ditandai dengan adanya 2 atau lebih ciri-ciri berikut: oligo-ovulasi atau anovulasi kronis, hiperandrogen, dan ovarium polikistik. Sindrom ini terjadi pada 5 – 10% wanita usia reproduksi, dan merupakan penyebab yang lazim pada infertilitas anovulatoir di negara berkembang. Manifestasi klinis yang sering tampak adalah iregularitas menstruasi dan tanda-tanda kelebihan androgen berupa hirsutism, akne, dan kebotakan.

Sindrom ovarium polikistik berhubungan dengan gangguan metabolisme yang penting. Kejadian diabetes tipe II di Amerika Serikat 10 kali lebih tinggi pada wanita muda dengan sindrom ovarium polikistik dibandingkan dengan wanita normal, dan kelemahan toleransi terhadap glukosa atau perkembangan diabetes tipe II yang nyata berkembang pada usia 30 tahun pada 30 – 50% wanita dengan sindrom ovarium polikistik. Kejadian sindrom metabolik 2 atau 3 kali lebih tinggi pada wanita dengan sindrom ovarium polikistik dibandingkan wanita normal yang sama usia dan indeks massa tubuhnya, dan 20% wanita dengan sindrom ovarium polikistik yang berusia kurang dari 20 tahun juga mengalami sindrom metabolik. Walaupun data outcome yang spesifik untuk wanita dengan sindrom ovarium polikistik masih kurang, risiko infark miokard fatal lebih tinggi 2 kali lipat pada wanita dengan oligomenorrhea berat, dimana sebagian besarnya diduga mengalami sindrom ovarium polikistik, dibandingkan dengan wanita eumenorrhea.


PATOFISIOLOGI DAN EFEK TERAPI

Karakteristik sindrom ovarium polikistik belum sepenuhnya dipahami tetapi telah diketahui melibatkan interaksi kompleks antara kerja gonadotropin, ovarium, androgen, dan insulin. Unsur penting sindrom ini adalah resistensi insulin. Mayoritas wanita dengan sindrom ovarium polikistik, tanpa mempertimbangkan berat badan, mengalami resistensi insulin yang intrinsik terhadap sindrom tersebut dan sangat sedikit dipahami. Wanita obes dengan sindrom ovarium polikistik menambahkan beban resistensi insulin yang berhubungan dengan adipositasnya.

Resistensi insulin yang merupakan karakteristik sindrom ovarium polikistik tampaknya bertanggung jawab terhadap hubungan antara kelainan tersebut dengan diabetes tipe II. Resistensi insulin juga mungkin mendasari hubungan antara sindrom ovarium polikistik dengan faktor risiko kardiovaskular yang telah dikenal, misalnya dislipidemia dan hipertensi, demikian juga dengan gangguan anatomi dan fisiologi kardiovaskuler.

Resistensi insulin dan hiperinsulinemia kompensatori juga memainkan peranan yang serius dalam aspek lain sindrom ovarium polikistik, termasuk kelebihan androgen dan anovulasi. Insulin menstimulasi produksi androgen oleh ovarium dengan mengaktivasi reseptor homolognya, dan ovarium pada wanita dengan sindrom ovarium polikistik tampaknya tetap sensitif terhadap insulin, atau mungkin hipersensitif terhadap insulin, bahkan saat jaringan target klasik seperti otot dan lemak menunjukkan resistensi terhadap kerja insulin. Sebagai tambahan, hiperinsulinemia menghambat produksi hepatik sex hormone-binding globulin, sehingga lebih meningkatkan kadar testosterone bebas dalam sirkulasi. Insulin juga menghambat ovulasi, baik secara langsung mempengaruhi perkembangan folikel atau secara tidak langsung meningkatkan androgen intraovarian atau mengubah sekresi gonadotropin. Bukti lebih lanjut pengaruh resistensi insulin pada sindrom ovarium polikistik adalah bahwa intervensi yang beragam, yang saling berhubungan hanya dalam hal menurunkan level insulin sirkulasi, menyebabkan meningkatnya frekuensi ovulasi atau menstruasi, menurunkan kadar testosterone serum, atau keduanya. Intervensi ini meliputi penghambatan pengeluaran insulin (dengan menggunakan diazoxide atau octreotide), memperbaiki sensitivitas insulin (dengan diet menurunkan berat badan, metformin, troglitazone, rosiglitazone, atau pioglitazone), atau menurunkan absorbsi karbohidrat (dengan menggunkana acarbose).

Metformin adalah suatu biguanide, obat yang paling banyak digunakan sebagai terapi diabetes tipe II di seluruh dunia. Kerja utamanya adalah untuk menghambat produksi glukosa hepatik, dan juga meningkatkan sensitivitas jaringan perifer terhadap insulin. Peningkatan sensitivitas insulin, yang memberikan kontribusi terhadap kemanjuran metformin dalam terapi diabetes, juga terjadi pada wanita non diabetik dengan sindrom ovarium polikistik. Pada wanita dengan sindrom ini, terapi jangka panjang dengan metformin dapat meningkatkan ovulasi, memperbaiki siklus menstruasi, dan menurunkan kadar androgen serum serta penggunaan metformin juga dapat memperbaiki hirsutism. Jika data yang dipublikasikan tentang efek metformin dalam pencegahan diabetes dipakai untuk meramalkan kemungkinan pada wanita dengan sindrom ovarium polikistik, maka obat tersebut mungkin benar-benar dapat memperlambat kemajuan intoleransi glukosa pada wanita yang terjangkit, seperti dilaporkan dalam suatu penelitian retrospektif kecil.

BUKTI KLINIS

Pada tahun 1996 dilaporkan bahwa pemberian metformin pada wanita dengan sindrom ovarium polikistik menurunkan kadar insulin sirkulasi dan berhubungan dengan penurunan aktiviats 17,20-lyase ovarium dan sekresi androgen ovarium. Kebanyakan penelitian mengkonfirmasi kemampuan metformin untuk menurunkan insulin serum puasa dan kadar androgen pada wanita dengan sindrom ovarium polikistik. Tetapi penelitian yang secara spesifik menilai efek metformin pada tanda klinis hiperandrogen (misalnya hirsutism, akne, dan alopesia androgenetis) masih terbatas.

Hal yang berhubungan dengan ovulasi, hasil dari suatu RCT pada tahun 1998, terapi awal dengan metformin dibandingkan dengan placebo meningkatkan insidensi ovulasi setelah terapi berkelanjutan dengan klomifen. Sesudah itu beberapa penelitian membandingkan metformin dengan placebo, metformin dengan tanpa terapi, metformin dan klomifen dengan klomifen saja, atau metformin dan klomifen dengan placebo. Yang paling teliti dan penelitian-penelitian ini diikutkan dalam suatu meta-analisis oleh Lord dkk pada tahun 2003. Meta-analisis tersebut mengikutsertakan data dari 13 penelitian dan 543 wanita dengan sindrom ovarium polikistik; disimpulkan bahwa metformin efektif dalam meningkatkan frekuensi ovulasi (Odds Ratio 3.88; 95% confidence interval 2.25 – 6.69).

Sejak publikasi meta-analisis tersebut, telah dilakukan 3 RCT tambahan. Penelitian-penelitian ini membandingkan metformin atau metformin dan klomifen dengan klomifen untuk induksi ovulasi jangka pendek pada wanita dengan sindrom ovarium polikistik yang menginginkan kehamilan, dan penelitian-penelitian tersebut memberikan hasil yang bertentangan. Penelitian terbesar, penelitian Kehamilan pada Sindrom Ovarium Polikistik, mengikutsertakan 626 wanita infertil dengan sindrom ovarium polikistik. Hasilnya mengkonfirmasi bahwa penambahan metformin pada terapi klomifen meningkatkan tingkat ovulasi kumulatif bila dibandingkan pemberian klomifen saja (60.4% versus 49.0%, P=0.003), tetapi tingkat kelahiran hidup tidak berbeda antara kedua kelompok (26.8% dan 22.5%, berurutan; P=0.31). pada penelitian tersebut, klomifen lebih efektif daripada metformin dalam induksi ovulasi pada jangka pendek dan menghasilkan kelahiran hidup.

Mengenai diabetes, terdapat 2 RCT besar, the Indian Diabetes Prevention Programme (IDDP-1) dan the U.S. Diabetes Prevention Programme(DPP), menunjukkan bahwa penggunaan metformin menurunkan risiko relative perkembangan diabetes tipe II (dengan 26% dan 31%, berurutan) diantara pasien dengan toleransi glukosa terganggu. Apakah efek metformin ini benar-benar menggambarkan pencegahan perkembangan diabetes, bukannya karena efek masking dengan menurunkan kadar glukosa darah, tetap menjadi kontroversi. Tetapi, setelah penghentian metformin pada penelitian DPP, diabetes berkembang pada lebih sedikit subyek daripada yang diharapkan jika efek masking merupakan satu-satunya efek. Tidak ada RCT yang menilai efek metformin pada perkembangan menuju diabetes tipe II secara spesifik pada pasien dengan sindrom ovarium polikistik. Pada suatu penelitian retrospektif tidak terkontrol, pada 50 wanita dengan sindrom ovarium polikistik yang diterapi dengan metformin selama rata-rata 43 bulan pada suatu sentra medis akademik, tidak terjadi perkembangan menjadi diabetes tipe II, walaupun terdapat 11 wanita (22.0%) dengan toleransi glukosa terganggu. Tingkat perubahan tahunan dari toleransi glukosa normal menjadi toleransi glukosa terganggu hanya 1.4%, dibandingkan dengan 16 – 19% yang dilaporkan dalam literatur untuk wanita dengan sindrom ovarium polikistik yang tidak mengkonsumsi metformin.

PENGGUNAAN KLINIS

Pendekatan terhadap penanganan sindrom ovarium polikistik tergantung pada tujuan terapi pasien dan dokter. Pada sebagian wanita, infertilitas merupakan masalah utama. Pasien-pasien tersebut seringkali diterapi dengan induksi ovulasi jangka pendek dengan klomifen . Jika fertilitas tidak menjadi permasalahan, kontrasepsi estrogen-progestin, dengan atau tanpa antiandrogen seperti spironolakton, merupakan terapi jangka panjang yang banyak dipakai. Pendekatan ini efektif dalam mencapai tujuan terapi tradisional pada sindrom ovarium polikistik, yaitu memperbaiki efek hiperandrogen (yaitu hirsutism, kebotakan pada laki-laki, akne dan mendapatkan menstruasi teratur, dan dengan itu mencegah hiperplasia endometrium).

Mengingat kekacauan metabolik yang berhubungan dengan sindrom ovarium polikistik, tampaknya bijaksana dan sesuai untuk merencanakan terapi jangka panjang yang tidak hanya bertujuan untuk menangani konsekuensi hiperandrogen dan anovulasi tetapi juga tujuan lain untuk memperbaiki resistensi insulin dan menurunkan risiko diabetes tipe II dan penyakit kardiovaskuler. Efek agen kontrasepsi estrogen-progestin pada toleransi glukosa masih kontroversial. Bukti terbatas dari penelitian jangka pendek terkontrol menunjukkan bahwa penggunaan kontrasepsi oral memperburuk resistensi insulin dan toleransi glukosa pada wanita dengan sindrom ovarium polikistik. Penggunaan kontrasepsi estrogen-progestin berhubungan dengan peningkatan dua kali lipat risiko relatif penyakit arterial kardiovaskuler pada populasi wanita umum, risiko pada wanita dengan sindrom ovarium polikistik secara khusus belum diketahui.

Metformin memperbaiki sensitivitas insulin dan seperti telah disebutkan sebelumnya, memperlambat atau mencegah perkembangan diabetes tipe II pada pasien dengan gangguan toleransi glukosa. Walaupun metformin tidak secara spesifik menurunkan risiko gangguan kardiovaskuler pada pasien dengan sindrom ovarium polikistik, bukti klinis dan mekanistik yang tersedia mendukung penggunaan metformin sebagai agen pelindung melawan efek samping kardiovaskuler dari resistensi insulin dan kelebihan insulin. Hal lain bahwa metformin mungkin menurunkan kadar androgen sirkulasi dan mungkin memperbaiki ovulasi dan siklus menstruasi, sehingga memenuhi tujuan terapi jangka panjang tradisional. Untuk alasan-alasan ini, walaupun metformin tidak disetujui oleh FDA untuk terapi sindrom ovarium polikistik, obat ini banyak digunakan untuk tujuan ini.

Untuk meminimalisir efek samping, terapi metformin dimulai pada dosis yang rendah yang diminum saat makan, dan dosis ini ditingkatkan secara progresif. Pasisen-pasien diberi metformin 500 mg sekali/hari diminum saat makan besar, biasanya makan malam selama 1 minggu kemudian ditingkatkan menjadi 2kali/sehari, bersama sarapan dan makan malam, selama 1 minggu kemudian dosis dinaikkan 500 mg saat sarapan dan 1000 mg saat makan malam selama 1 minggu dan akhirnya dosis ditingkatkan menjadi 1000 mg 2kali/hari saat sarapan dan makan malam. Tidak terdapat penelitian mengenai kisaran dosis metformin pada sindrom ovarium polikistik, tapi penelitian kisaran dosis pada pasien diabetes menggunakan kadar hemoglobin glikase sebagai pengukur outcome, menunjukkan bahwa dosis 2000 mg per hari sudah optimal.

Metformin sebaiknya tidak digunakan pada wanita dengan gangguan ginjal (kadar kreatinin serum > 1.4 ml/dL), disfungsi hepar, gagal jantung kongestif berat, atau adanya riwayat penyalahgunaan alkohol. Mengingat usia muda wanita dengan sindrom ovarium polikistik, kontraindikasi ini jarang menjadi masalah. Mengulang pemeriksaan saat dilakukan terapi metformin tidak disarankan kecuali bila terjadi penyakit atau kondisi (misalnya dehidrasi) yang mungkin menyebabkan gangguan ginjal dan hepar.

Pada saat pemberian metformin, pasien juga diberi nasihat tentang diet penurunan berat badan dan olah raga rutin terjadwal. Intervensi seperti ini berguna dalam mencegah diabetes. Efek lain turunnya berat badan meningkatkan kemungkinan terjadinya ovulasi, sebagian besar karena membaiknya sensitivitas insulin.

Pasien diminta untuk membuat catatan menstrual, diperingkatkan bahwa fertilitas mungkin akan segera membaik, dan diberi nasihat untuk menggunakan kontrasepsi metode barrier. Obat kontrasepsi oral dan antiandrogen tidak diberikan pada kunjungan awal, karena mungkin akan mempengaruhi menstruasi ataupun kadar androgen serum dan dapat mengacaukan penilaian kemanjuran metformin. Eflornithine topical dapat diberikan sebagai terapi hirsutism wajah.

Kunjungan follow-up dijadwalkan pada bulan 3 dan 6. Siklus menstruasi ditinjau dan testosterone total serum diperiksa pada setiap kunjungan. Jika terjadi perbaikan pada siklus menstruasi, penting untuk dicatat apakah menstruasi tersebut ovulatori. Hal ini dapat ditentukan dengan menilai kadar progesterone serum 7 hari sebelum hari pertama menstruasi berikutnya, kadar progesterone lebih dari 4.0 ng/ml konsisten dengan fase luteal dan ovulasi.

Setelah terapi selama 6 – 9 bulan, dilakukan penilaian kemanjuran metformin. Jika siklus menstruasi dan ovulasi membaik secara memuaskan, terapi lebih lanjut ditentukan per kasus. Pada beberapa wanita, terapi dengan metformin saja mungkin sudah cukup. Wanita yang menginginkan kontrasepsi dapat diberikan obat kontrasepsi oral sambil melanjutkan terapi metformin. Pada kasus dimana hirsutism tetap menjadi masalah, obat kontrasepsi oral, antiandrogen, atau keduanya dapat ditambahkan disamping metformin.

EFEK SAMPING

Asidosis laktik telah dilaporkan terjadi pada penggunaan metformin, tetapi komplikasi ini sangat jarang (0.3 kasus per 10.000 pasien per tahun) pada pasien yang sehat dan terbatas terutama pada pasien yang seharusnya tidak mendapat obat ini karena mempunyai penyakit ginjal dan hepar yang mendasari.

Efek samping utama metformin terjadi pada 10 – 25% pasien seperti gangguan gastrointestinal, biasanya mual dan diare. Jika mual dan diare terjadi pada dosis yang diberikan, dosis tersebut dapat tetap dipertahankan atau diturunkan menjadi 500 mg per hari selama 2 – 4 minggu sampai gejala menghilang. Efek samping gastrointestinal metformin biasanya hanya sementara, tetapi pada beberapa kasus minor gangguan gastrointestinal mungkin memerlukan penghentian pemberian metformin.

Metformin dapat menyebabkan malabsorbsi vitamin B12 pada beberapa pasien yang menerima terapi jangka panjang. Pada suatu analisis, faktor risiko untuk terjadinya efek samping ini adalah dosis harian dan durasi terapi metformin dan juga usia pasien. Walaupun kemungkinan terjadinya defisiensi B12 klinis sangatlah rendah, pasien harus dimonitor terhadap gejala dan tandanya.

Metformin merupakan golongan obat kategori B, dan tidak ditemukan efek teratogenik pada hewan coba. Telah diberikan pada sejumlah kecil wanita di Afrika Selatan yang menderita diabetes tipe II atau diabetes gestasional, selama kehamilan mereka, tidak terdapat efek teratogenik atau gangguan pada janin.

Walaupun metformin semakin banyak digunakan untuk mengobati pasien dengan sindrom ovarium polikistik, terapi ini sebagian didasarkan pada hasil penelitian RCT pada populasi tanpa sindrom ovarium polikistik, yang menunjukkan bahwa diabetes dapat dicegah. Diperlukan penelitian RCT serupa yang secara spesifik melibatkan pasien dengan sindrom ovarium polikistik. Strategi untuk terapi metformin jangka panjang pada pasien dengan sindrom ovarium polikistik masih dikembangkan, dan identifikasi faktor prediktor untuk respons metformin, mungkin bahkan melalui pendekatan farmakogenomik, akan memperbaiki kegunaan obat ini dalam penanganan sindrom ovarium polikistik. Walaupun terapi jangka panjang dengan metformin kelihatannya menguntungkan pada banyak pasien dengan sindrom ovarium polikistik, yang kurang jelas adalah kapan metformin digunakan sebagai terapi tunggal atau sebagai terapi kombinasi dengan antiandrogen atau terapi hormonal. Kemanjuran metformin memperbaiki gejala kelebihan androgen, seperti hirsutism, belum diteliti secara kritis.

Metformin telah digunakan selama bertahun-tahun pada pasien dengan diabetes tipe II. Tetapi, kita tidak memiliki data menyangkut efek jangka panjang potensial obat ini pada pasien yang diterapi dengan sindrom ovarium polikistik, pada siapa terapi ini, jika efektif, dapat dilanjutkan selama bertahun-tahun. Jika pasien kemudian hamil, belum dipastikan apakah metformin seharusnya dilanjutkan selama kehamilan dan, jika demikian, untuk berapa lama.


PETUNJUK

Pernyataan terakhir dari Androgen Excess Society merekomendasikan bahwa wanita dengan sindrom ovarium polikistik, tanpa melihat berat badan, diskrining terhadap intoleransi glukosa dengan menggunakan tes toleransi glukosa pada awal pemeriksaan dan setiap 2 tahun setelahnya. Perlu dicatat bahwa penggunaan metformin untuk mengobati atau mencegah perkembangan menjadi toleransi glukosa terganggu dapat dipertimbangkan tetapi tidak diharuskan sampai dilakukan penelitian RCT berdesain baik yang menunjukkan kemanjurannya. Pernyataan American Association of Clinical Endocrinologist merekomendasikan bahwa metformin dipertimbangkan sebagai terapi awal pada kebanyakan wanita dengan sindrom ovarium polikistik, khususnya pada mereka yang kelebihan berat badan atau obes.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar